Peran atau Hubungan Ki Bagus Hadikusumo dalam perumusan Pancasila
Peran Ki Bagus Hadikusumo dalam masa persiapan kemerdekaan Indonesia adalah sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sejak terbentuknya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) Ki Bagus Hadikusumo menjadi anggota KNIP mewakili Masyumi. Ki Bagus pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Sewaktu Agresi Militer Belanda I tahun 1947, Muhammadiyah membentuk Kesatuan Laskar Angkatan Perang Sabil dengan Penasihat Ki Bagus Hadikusumo.
Sejarah mencatat sebelum Ir Soekarno menyampakan pidato tentang dasar negara tanggal 1 Juni 1945, sidang BPUPKI telah mendengarkan pidato anggota BPUPKI lainnya, salah satunya Ki Bagus Hadikusumo. Ki Bagus mengemukakan agar negara Indonesia berdasarkan agama Islam, di atas petunjuk-petunjuk Al Quran dan Hadits, agar menjadi negara yang tegak dan teguh serta kuat dan kokoh. Ia mengingatkan sudah enam abad Islam menjadi agama kebangsaan Indonesia dan tiga abad sebelum Belanda menjajah disini, hukum Islam sudah berlaku di Indonesia. Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, sepuluh kali menyebut nama Ki Bagus Hadikusumo. Soekarno sangat segan kepada Ki Bagus walau dalam banyak hal prinsipil keduanya berlainan pendapat dan pandangan.
Menyangkut rumusan dasar negara, sidang BPUPKI membentuk Panitia Kecil untuk mencapai konsensus antara golongan Islam dan golongan kebangsaan dalam merumuskan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar. Dalam rancangan dasar negara “Pancasila” yang diusulkan Bung Karno, prinsip Ketuhanan merupakan sila kelima. Ki Bagus Hadikusumo-lah yang dengan gigih berdebat dengan Soekarno sampai di luar sidang hingga Soekarno menangis di hadapan Ki Bagus. Prinsip Ketuhanan akhinya menjadi prinsip pertama yang diterima secara aklamasi dalam sidang BPUPKI. Mr. Muhammad Yamin menyebutnya Piagam Jakarta. Mengutip dari Bung Hatta, Panitia Sembilan mengubah urutan fundamen Pancasila, meletakkan fundamen moral di atas, fundamen politik di bawahnya. Dengan meletakkan dasar moral di atas, negara dan pemerintahan memperoleh dasar yang kokoh.
Kalangan tokoh Islam, salah satunya Ki Bagus Hadikusumo, dengan teguh memegang pendirian bahwa beberapa hal penting yang berhubungan dengan Islam harus dimasukkan ke dalam batang tubuh konstitusi Negara Republik Indonesia. Bahkan Ki Bagus Hadikusumo dapat disebut sebagai penggagas landasan Ketuhanan negara Republik Indonesia.
Pertumbuhan ketatanegaraan kita tidak selalu berjalan linear. Dalam buku Sekitar Proklamasi, Bung Hatta menceritakan peristiwa yang amat penting dalam sejarah bangsa dan negara Indonesia. Sore hari 17 Agustus 1945 beliau menerima tamu seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Opsir itu, Bung Hatta lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun yang memberitahukan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik di daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang merasa keberatan dengan kalimat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar, yaitu “Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Jika kalimat tersebut ditetapkan, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.
Bung Hatta tidak menerima begitu saja keberatan demikian, “Saya katakan bahwa itu bukan suatu diskriminasi, sebab penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Waktu merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar itu, Mr. Maramis yang ikut serta dalam Panitia Sembilan, tidak mempunyai keberatan apa-apa dan pada tanggal 22 Juni ia ikut menanda-tanganinya.”
Pada waktu itu Bung Hatta menjanjikan akan menyampaikan kepada sidang PPKI esok harinya. Pada 18 Agustus 1945 menjelang dimulainya sidang PPKI yang mengagendakan pengesahan Undang-Undang Dasar, Bung Hatta membicarakan soal tersebut dengan tiga orang anggota PPKI yang dianggap “mewakili golongan Islam”, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku M. Hasan. Pada sebagian literatur menyebut nama K.H.A. Wahid Hasjim juga hadir. Menurut Prawoto Mangkusasmito dan diperkuat oleh keterangan Ibu Solichah A.Wahid Hasjim tahun 1984, suaminya K.H.A. Wahid Hasjim tidak hadir dalam sidang PPKI di Jakarta tanggal 18 Agustus 1945 itu.
Bung Hatta meminta para tokoh Islam agar menyetujui untuk menghapus tujuh kata dalam rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ki Bagus Hadikusumo, pucuk pimpinan Muhammadiyah, satu-satunya eksponen perjuangan Islam yang paling senior ketika itu pada mulanya berkeberatan. Kasman Singodimedjo dan Teuku M. Hasan membujuk Ki Bagus agar menerima saran Bung Hatta karena keputusan terakhir ada pada Ki Bagus Hadikusumo. Segala tekanan psikologis bertumpu pada Ki Bagus. Kasman menggambarkan betapa marah Ki Bagus atas usulan Bung Hatta yang tiba-tiba mementahkan kompromi yang telah dicapai dengan susah payah dalam sidang BPUPKI. Bujukan Kasman Singodimedjo dengan menggunakan bahasa Jawa halus dapat meluluhkan hati Ki Bagus.
Kesediaan Ki Bagus Hadikusumo menghapus tujuh kata menyangkut syariat Islam menjadi “kunci” pengesahan Pembukaan UUD 1945 dan prinsip-prinsip dasar negara Pancasila. Prawoto Mangkusasmito beberapa tahun kemudian bertanya kepada Ki Bagus Hadikusumo tentang arti istilah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jawab Ki Bagus singkat saja, yaitu “Tauhid”.
Peran Mr.Kasman Singodimejo dalam perumusan Pancasila
Ki Bagus Hadikusumo sebagai golongan
Islam Nasionalis bersikukuh agar Pancasila sebagai dasar Negara adalah seperti
yang tercantum dalam piagam Jakarta. Namun, kelompok nasionalis melalui
Muhammad Hatta atas masukan dari wakil Indonesia Timur ngotot agar Sila Pertama
Piagam Jakarta diubah. Akhirnya sebagai ketua PPKI, Soekarno mengirim Kasman
Singodimejo, sahabat dekat Ki bagus untuk membujuk pemimpin Muhammadiyah
tersebut. Seperti apa bujukan Kasman sehingga bisa meluluhkan hati Ki
Bagus?
Sehari setelah pembacaan Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, tujuh kata dalam Piagam
Jakarta dihapuskan. Di antara tokoh yang sangat gigih menolak penghapusan itu
adalah tokoh Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo. Saking gigihnya, sampai-sampai
Soekarno dan Hatta tak berani bicara langsung dengan Ki Bagus. Soekarno
terkesan menghindar dan canggung, karena bagi Ki Bagus, penegakan syariat Islam
adalah harga mati yang tak bisa ditawar lagi.
Untuk meluluhkan pendirian Ki Bagus,
Soekarno kemudian mengirim utusan bernama Teuku Muhammad Hassan dan KH Wahid
Hasyim agar bisa melobi Ki Bagus. Namun, keduanya tak mampu meluluhkan
pendirian tokoh senior di Muhammadiyah ketika itu. Akhirnya, dipilihlah Kasman
Singodimedjo yang juga orang Muhammadiyah, untuk melakukan pendekatan secara
personal, sesama anggota Muhammadiyah, untuk melunakkan sikap dan pendirian Ki
Bagus Hadikusumo.
Dalam memoirnya yang berjudul ”Hidup
Itu Berjuang“, Kasman menceritakan bahwa ia mendatangi Ki Bagus dan
berkomunikasi dengan bahasa Jawa halus (kromo inggil). Kepada Ki Bagus, Kasman
membujuk dengan mengatakan,
“Kiai, kemarin proklamasi
kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan
Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita bernegara, dan masih harus ditetapkan
siapa presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan perputaran roda
pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok,
lantas bagaimana?!
Kiai, sekarang ini bangsa Indonesia
kejepit di antara yang tongol-tongol dan
yang tingil-tingil. Yang tongol-tongol ialah balatentara
Dai Nippon yang masih berada di bumi Indonesia dengan persenjataan modern.
Adapun yang tingil-tingil (yang mau masuk kembali ke
Indonesia, pen) adalah sekutu termasuk di dalamnya Belanda, yaitu dengan
persenjataan yang modern juga. Jika kita cekcok, kita pasti akan konyol.
Kiai, di dalam rancangan
Undang-Undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu
pasal yang menyatakan bahwa 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang Dasar yang sempurna.
Rancangan yang sekarang ini adalah rancangan Undang-Undang Dasar darurat.
Belum ada waktu untuk membikin yang sempurna atau memuaskan semua pihak,
apalagi di dalam kondisi kejepit!
Kiai, tidakkah bijaksana jikalau
kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni
menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni
tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur,
tenang tenteram, diridhai Allah SWT.”
Kasman juga menjelaskan perubahan
yang diusulkan oleh Mohammad Hatta, bahwa kata ”Ketuhanan” ditambah dengan
”Ketuhanan Yang Maha Esa”. KH A Wahid Hasyim dan Teuku Muhammad Hassan
yang ikut dalam lobi itu menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan yang lainnya. Kasman menjelaskan,
Ketuhanan Yang Maha Esa menentukan arti Ketuhanan dalam Pancasila. ”Sekali lagi
bukan Ketuhanan sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa,” kata Kasman meyakinkan Ki Bagus.
Kasman juga menjelaskan kepada Ki
Bagus soal janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat undang-undang yang sempurna. Di
sanalah nanti kelompok Islam bisa kembali mengajukan gagasan-gagasan Islam.
Karena Soekarno ketika itu mengatakan, bahwa perubahan ini adalah Undang-Undang
Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat. “Nanti kalau kita telah bernegara
di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lebih
lengkap dan sempurna,” kata Soekarno.
Para tokoh Islam saat itu menganggap
ucapan Soekarno sebagai “janji” yang harus ditagih. Apalagi, ucapan Soekarno
itulah setidaknya yang membuat Ki Bagus merasa masih ada harapan untuk
memasukkan ajaran-ajaran Islam dalam undang-undang yang lengkap dan tetap
nantinya.
”Hanya dengan kepastian dan jaminan
enam bulan lagi sesudah Agustus 1945 itu akan dibentuk sebuah Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Majelis pembuat Undang-Undang Dasar Negara guna
memasukkan materi Islam itu ke dalam undang-undang dasar yang tetap, maka
bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo itu untuk menanti,” kenang Kasman dalam
memoirnya.
Selain soal jaminan di atas,
tokoh-tokoh Islam juga dihadapkan pada suatu situasi terjepit dan sulit. Dan
yang perlu dicatat, tokoh-tokoh Islam yang dari awal menginginkan negeri ini
merdeka dan bersatu. Akhirnya Ki Bagus dan tokoh islam lainnya legowo untuk
tidak memaksakan kehendaknya mempertahankan tujuh kata tersebut.
Berikut
kutipan substansi pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945
Selama tiga hari berturut-turut
sudah banyak yang berpidato, tetapi yang diutarakan bukan yang diperlukan
BPUPKI, yaitu dasar Negara. Apa arti merdeka? Merdeka merupakan suatu
kemandirian politik. Jangan terlalu “jlimet” mengartikan merdeka, jangan harus
ada ide ini dan itu. Saudi Arabia merdeka ketika lebih dari 80 % rakyatnya buta
huruf. Kemerdekaan itu bagai jembatan dan di seberang jembatan. Itulah
prinsipnya, kita sempurnakan masyarakatnya. Jangan gentar dan jangan jlimet
memikirkan harus ada ini dan itu baru merdeka, tapi kita harus merdeka
sekarang, sekarang dan sekarang.
Uni Soviet, Saudi Arabia dan Amerika
Serikat ternyata sanggup mempertahankan kemerdekaannya. Apabila kemerdekaan
dibandingkan dengan perkawinan , aa yang berani lekas kawin , ada yang takut,
ada yang harus tunggu punya rumah dan sebagainya baru kawin. Saudara kita si
Marhaen berani kawin walaupun Cuma punya satu tikar dan gubug. Kita sekarang
mau merdeka atau tidak!
Di dalam Indonesia merdeka, barulah
kita memerdekakan rakyat kita satu per satu. Di dalam Indonesia merdeka kita
sehatkan dan sejahterakan rakyat kita. Kalau kita sudah bicara tentang merdeka,
kita bicarakan mengenai dasar, philosophische grondslag, weltanschaung (dasar
Negara). Hitler mendirikan Jerman di atas national sozialitische weltanschaung.
Lenin mendirikan uni Soviet dengan Marxistische, Nippon mendirikan Dai Nippon
di atas Tenno Koodoo Seishin. Ibnu, yaitu Islam Saud mendirikan Saudi Arabia
diatas dasar agama.
Weltanschaung harus kita bulatkan
dulu sebelum Indonesia merdeka dan para idealis di dunia bekerja mati-matian
untuk menyusun dan merea merealisasikan weltanschauung mereka. Lenin mendirikan
Uni Soviet dalam 10 hari di tahun 1917, tetapi weltanshaung nya sudah
dipersiapkan sejak 1895. Adolf Hitler berkuasa pada tahun 1935, tetapi
weltanschaungnya sudah dipersiapkan sejak 1922. Dr. Sun Yat Sen mendirikan
Negara Tiongkok pada tahun 1912, tapi weltanshaungnya sudah dipersiapkan sejak
1985 yaitu San Min Chu I.
1. Kebangsaan
Kita tidak mendirikan Negara buat
satu orang, satu golongan, tetapi buat semua sehingga dasar pertama untuk
Negara Indonesia adalah dasar Kebangsaan. Kita mendirikan suatu Negara
kebangsaan Indonesia, dasar kebangsaan bukan kebangsaan dalam arti sempit. Kita
bukan Cuma membicarakan bangsa, melainkan juga tanah airnya. Rakyat Minangkabau
yang ada dimana-mana merasakan “kehendak akan bersatu” walaupun Minangkabau
hanya sebagian kecil dari nusantara, demikian juga masyarakat Jogja, Sunda dan
Bugis. Nationale staat meliputi seluruh wilayah Indonesia yang merupakan
wilayah kesatuan. Dalam sejarah kita Cuma dua kali mengalami nationale staat
yaitu di masa Sriwijaya dan Majapahit. Di masa Mataram memang merdeka tapi
tidak nationale staat. Orang Tiongha klasik tidak mau kebangsaan karena mereka
memeluk paham Kosmopolitisme, tetapi untung ada Dr. Sun Yat Sen yang mengubah
paham tersebut.
1. Internationalisme
Dasar kebangsaan ada bahayanya,
yaitu dapat menimbulkan chauvinism yang bias mengarah pada uber alles. Kita
cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa satu dan punya bahasa satu, tetapi
Indonesia hanya satu bagian kecil dunia. Kita akan mendirikan Negara Indonesia
merdeka sekaligus menuju pada kekeluargaan bangsa-bangsa, internationalisme
tidak berarti kosmopolisme yang meniadakan bangsa. Internasionalisme tidak
dapat hidup subur bila tidak berakar di bumi nationalisme , sedangkan nationalisme
tidak dapat hidup di taman sarinya internationalisme. Prinsip pertama dan kedua
saling bergandengan.
c. Mufakat, Perwakilan dan
Permusyawaratan
Kita tidak mendirikan Negara untuk
satu orang, stau golongan, tetapi semua untuk semua , satu buat semua, semua
buat satu, dan agar Negara menjadi kuat perlu permusyawaratan perwakilan. Untuk
pihak islam, inilah tempat terbaik untuk memelihara agama. Dengan cara mufakat
kita pebaiki semua hal yang bersangkut paut agama. Golongan agama dapat
memanfaatkan dasar ini untuk memperjuangkan kepentingannya.
d. Kesejahteraan Sosial
selama tiga hari belum terdengar
prinsip kesejahteraan, prinsip tidak ada kemiskinan di Indonesia. Apakah kita
mau merdeka dengan kaum kapitalis merajalela ataukah rakyatnya yang sejahtera. Di
Eropa dan Amerika ada badan perwakilan, tetapi nyatanya kapitalis merajalela di
sana. Demokrasi yang kita perlukan bukanlah demokrasi Barat, melainkan
demokrasi yang memberi penghidupan, yaitu demokrasi politik ekonomi yang mampu
mendatangkan kesejahteraan sosial.
Kita mengenal cerita Ratu Adil
dimana rakyat miskin berjuang dan menciptakan dunia baru yang lebih sejahtera
yang dipipin oleh Ratu Adil. Kita tidak saja memiliki politik, tetapi juga
persamaan ekonomi yang mampu mendatangkan kesejahteraan rakyat. Badan
permusyawaratan kita bukan saja badan permusyawaratan politik demokrasi
melainkan juga mewujudkan dua prinsip yaitu politiche rechtvaadigheid dan
sosiale rechtvaadirgheid. Dalam badan permusyawartan kita membicarakan segaa
hal, termasuk urusan kepala Negara. Diharapkan semua kepala Negara harus
dipilih an Negara bukan monarki.
e. Ketuhanan
Bukan saja bangsa Indonesia
bertuhan, tetapi setiap orang Indonesia hendaknya bertuhan dengan Tuhannya
sendiri. Hendaknya rakyat bertuhan secara kebudayaan, dengan tiada egoisme
agama. Marilah kita jalankan agama secara berkeadaban, saling menghormati.
Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur.
Kelima dasar ini tidak dinamakan
Pancadharma karena dharma berarti kewajiban, sedangkan kita saat ini
membicarakan dasar. Kelima dasar ini dinamakan Pancasila karena sila berarti
asas atau dasar. Jika tidak ada yang senang, angka lima dapat diperas.
Kebangsaan dan internasionalisme kebangsaan serta peri kemanusiaan diperas
menjadi socio nasionalisme. Demokrasi dan kesejahteraan diperas menjadi satu
menjadi sosio demokrasi dan tinggal ketuhanan yang saling menghormati.
Dari lima tinggal tiga, yaitu sosio
nasinalisme, sosia demokrasi dan ketuhanan. Ketiga dasar ini dinamakan Trisila.
Jika tidak senang dengan angka tiga dan minta satu dasar ada kata Indonesia yan
tulen yaiu gotong royong. Negara Indonesia yang kita dirikan harus berdasarkan
gotong royong dan dasar yang satu ini dinamakan Ekasila.
Tidak ada satu pun dasar Negara yang
menjelma menjadi realitas tanpa perjuangan. Jika ingin merealisasikan Pancasila
, perlu perjuangan. Dengan berdirinya Negara Indonesia tidak berarti perjuangan
selesai. Justru kita baru memulai perjuangan, tetapi sifat dan coraknya lain.
Demikian pidato yang disampaikan Ir
Soekarno pada sidang BPUPKI pertama tanggal 1 Juni 1945. (DP/ materi lemhanas)